Jilbabku Pagar Fitnah


Bertahun-tahun aku dibesarkan pada dunia pesantren. Dari kecil hingga dewasa, aku selalu dalam asuhan dan bimbingan para kyai. Setiap perilakuku di adili dengan hukum islami. Mungkin, ini hidup yang terbaik dengan kondisi yang sekarang.
Pesantren tempat aku membekali diri dengan ilmu agama ini, bertempat didalam lingkaran dosa. Lingkungan dengan sebagian besar penduduk bekerja sebagai pekerja seks komersil. Setiap malam datang rumah warga seakan berubah menjadi ajang pemuas nafsu. Gemerlap lampu diskotik dan gemuruh musik dangdut, selalu terdengar disetiap rumah.
Dahulu Ibuku merupakan seorang pelacur, sehari-hari dia melayani para lelaki hidung belang. Mungkin faktor lingkungan yang memaksa dirinya. Hingga pada akhirnya Ibuku hamil tanpa tau siapa yang harus bertangguangjawab. Semua lelaki mengelak dengan kondisi seperti itu.
Dia telah pasrah akan semua itu, dia membesarkanku seorang diri. Setelah kelahiranku, ibuku merasa beban hidupnya bertambah. Bukannya dia bertaubat, justru terus tenggelam dalam perzinaan. Semua lelaki seakan pernah berkencan dengannya, hal ini mengakibatkan penyakit aids menyerangnya.
Setelah merasa sudah tak lama lagi hidup, ibuku kemudian menitipkan diriku pada seorang pendakwah yang bersyiar islam ditempat itu. Dia lalu bertaubat dan menghabiskan sisa hidupnya dengan mendalami ajaran agama islam.
***
            Malam semakin mencekam, udara dingin terus menyelimuti setiap putaran tasbih. Jari jemariku terasa tak kuat untuk menengada memohon limpauan rahmatmu. Cucuran air mata tak dapat aku bendung setiap kulantunkan kata taubat padamu.
            Dalam gema do’a yang aku lantunkan, kuingin menjihadkan seluruh bekal ilmu agama yang aku miliki, untuk merubah kehidupan mereka. Aku merasa berdosa apabila membiarkan mereka terus menapaki jalan kesesatan. Kutak ingin kisah kelamku terulang kembali.
            Setiap malam selalu kudengarkan suara teriakan mereka yang berlomba-lomba melubangi neraka. Tertawaan mereka seakan merasa bahwa hidup yang abadi adalah dunia. Mereka tak tau bahwa semua akan dipertanggungjawabkan. Sungguh ujian hidup yang begitu berat yang harus aku lalui. Ini merupakan ladang ibadah untukku, apabila aku dapat mentaubatkan mereka.
***
            Pagi yang cerah, langit biru dan sinar matahari mencerahkan hatiku yang penuh problema. Keinginan kuatku tak bisa aku pendam sendiri. Kuingin segera meminta izin dan restu kyaiku. Rumah kecil dengan beberapa pohon mangga yang tegak berdiri, inilah tempat kediaman kyaiku.
            Setelah sampai didalam rumahnya aku disuguhi dengan buah kurma kesukaannya. Kyaiku adalah seorang sufi, hampir setiap hari dia tidak pernah keluar rumah. Dia hanya bermunajat dan beribadah kepada allah SWT. Baju gamis dan jubah putih itulah yang selalu setia menemaninya. Setelah kuutarakan semua niatanku, akhirnya kyaiku mendukungku untuk mensyiarkan agama allah.
***
            Hembusan angin kencang yang membawa kesejukan memasuki relung hatiku yang kering bagaikan tanah digurun. Dengan mengunakan jilbab bercadar dan tas kecil yang berisikan kitab tuntunan agama. Aku pergi keluar dari gerbang asrama pesantren. Tidak sembarangan santri bisa keluar masuk lingkungan ini, karena kyaiku tak ingin para santrinya terpengaruh dengan keadaan luar.
            Setelah lama berjalan akhirnya aku sampai ditempat perkumpulan para PSK. Pada pagi hari tempat ini memang kelihatan seperti rumah pada biasanya, karena kebanyakan mereka pada istirahat. Setelah aku sampai didepan rumah itu aku langsung disambut oleh tiga wanita yang tinggi besar, putih, cantik dan memakai pakaian mini.
            “Ada apa kamu datang kesini?” tanyanya.
            “Apa kamu ingin bekerja seperti kami” tambahnya.
“Salam perkenalan dariku, tujuanku kasini hanya untuk menegakkan agama allah SWT” kataku dengan nada yang pelan dan penuh senyuman.
“Alah…tidak usah munafik lho” bentak mereka.
“Sungguh, ini sambutan yang sangat hangat yang engkau berikan”
            Mereka bertiga terheran-heran dengan perkataanku yang lemah lembut tanpa merendahkan mereka sedikitpun. Kemudian mereka mempersilahkanku duduk,dikursi ruang tamunya.mereka melihatku dengan tatapan sinis, melihat aku yang berpenampilan yang serba tertutup dan memakai jilbab.
            Kemudian aku memulai pembicaraan dengan nada yang santun, kuawali dengan kata-kata yang sedikit memancing mereka berbicara dengan dalil hadistku. Satu persatu mereka mulai mau mengutarakan isi hatinya. Mereka sebenarnya tak ingin hidup seperti ini, namun karena tiada pilihan lain sehingga mau tidak mau mereka harus terjerumus ke lembah kemurkaan. Rintihan tangis mulai mengema mengiringi setiap ceritanya padaku. Hatiku yang setegar batu pun tak mampu menahan kesedihan yang menimpa saudara seagamaku.
Kumulai sedikit demi sedikit menuntun perilaku mereka, mengajak untuk kembali kepada jalan yang lurus. Tiap hari kudatangi tempat mereka tinggal, untuk selalu kubimbing dan kunasehati.
***
Sekarang justru masalah menimpaku, teman-temanku menfitnah diriku bekerja seperti itu, mereka menjauhi diriku yang sering ketempat para pelacur. Sungguh ini ujian yang begitu besar yang harus aku hadapi. Tiap kali kusapa teman pesantrenku mereka membalas dengan celaan dan hinaan.
kumenangis karena ini semua, niat baikku seakan tak berarti untuk teman-temanku. Setiap aku merintih menanggis kyaiku selalu hadir dan menguatkan batinku. Kyaiku mengiginkanku terus bersyiar agama, tapi ini sungguh pengorbanan yang harus aku hadapi.
***
Kini masalahku telah diselesaikan oleh kyaiku, beliau tak ingin syiar dakwahku ini gagal. Beliau juga mengajak teman-temanku untuk mengikuti jejakku. Tak tau bagaimana beliau berbicara hingga dapat mengetuk pintu hati nteman-temanku.
 Kini semua temanku dipesantren telah mengikuti jejak dan pengorbananku. Sungguh tak kusangka akhirnya para pelacur itu pun juga terbuka hatinya untuk masuk pada agama allah. Sekarang aku pun menjadi tauladan untuk semua teman-temanku.
-- Rif'ul Mazid Maulana

1 komentar:

Cikal NU Jepara mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.